Jangan Egois, APD Medis Bukan OOTD Buat Jalan-jalan

Jangan-Egois-APD Medis Bukan OOTD Buat Jalan jalan

Dikala tenaga kesehatan serta profesi lain susah menemukan Alat Proteksi Diri (APD), kita dapat amati pemandangan umum warga memakai APD di plaza, pasar, apalagi rumah.

Belum lama linimasa media sosial menangkap hawa kekhawatiran berlebih dari warga akan wabah COVID- 19. Suatu gambar yang tersebar merekam kegiatan 2 orang mengenakan APD komplit tengah berdiri di depan gerai kelontong. Sedangkan satu lukisan yang lain menampilkan seseorang wanita menenteng dompet besar, berdiri di depan etalase ikan serta daging.

Mereka bersama mengenakan pakaian hazmat, masker operasi, serta tidak kurang ingat sarung tangan lateks( handscoon) bagaikan perkakas membeli- beli hari itu. Kenyataannya kejadian memproteksi diri dengan APD tidak Hanya dicoba warga biasa, tetapi pula anggota DPR RI serta selebritas.

Sehabis plesiran dari Eropa, Krisdayanti dengan santainya memperlihatkan aktivitas mengganti seprai memakai handscoon. Setelah itu selebgram Dinda Shafay pula mengenakan perlengkapan penjaga yang serupa di beberapa aktivitas setiap hari, tercantum berbelanja. Lucunya seakan berasumsi kalau handscoon merupakan produk kontra bakteri, mereka bebas memegang wajah dengan handscoon bekas beraktifitas.

Di sisi lain, para tenaga kesehatan wajib berjibaku dengan kelangkaan APD di tempat berkumpulnya penderita COVID- 19. Amati saja potret viral mengenai 2 orang daya kedokteran memakai pelindung jas hujan tipis bercorak merah. Bagian wajah serta betis ke bawah bahkan tidak tertutup pelindung.

“Sebagai rumah sakit rujukan COVID-19, kami sedang mengalami keterbatasan APD,” begitu bunyi pengumuman yang disebar bersama potret kedua tenaga kesehatan tersebut.

Masih banyak gambar dan rekaman dengan kondisi dan nasib serupa para tenaga medis. Padahal setiap hari mereka melakukan kontak dengan pasien dan sangat berisiko tertular bila tidak menggunakan APD standar. Personal Protective Equipment (PPE) alias APD merupakan alat yang dirancang untuk melindungi pemakai dari cedera atau penyebaran infeksi atau penyakit.

Menurut Food and Drug Administration (FDA), APD medis terdiri dari baju yang melindungi tubuh (hazmat), pelindung kepala, sarung tangan, pelindung wajah, kacamata (goggles), dan masker/respirator. APD berfungsi untuk menghalangi transmisi kontaminan dari darah, cairan tubuh, atau sekresi pernapasan ke kulit, mulut, hidung, atau mata (selaput lendir).

Profesi-profesi yang bersentuhan dengan orang banyak, pasien, atau media transmisi virus, idealnya menggunakan APD untuk melindungi diri. Sementara masyarakat biasa cukup melakukan tindakan pencegahan dengan menjaga jarak, tidak keluar rumah, menjaga pola hidup sehat, dan rajin mencuci tangan.

Mereka yang Bekerja di Gerbang Negara

Riki Rachman Permana, 29 tahun, dinyatakan positif SARS-CoV-2 usai dua kali memeriksakan diri ke dokter dan didiagnosis radang tenggorokan. Pegawai keimigrasian Bandara Soekarno Hatta ini sehari-hari bekerja di bagian paspor diplomatik. Transmisi virus COVID-19 yang ia dapat diduga berasal dari aktivitas pemeriksaan paspor.

“Intensitas bersinggungan dengan orang asing. Jadi besar kemungkinan memang di bandara,” katanya kepada Tirto beberapa waktu lalu.

Ia mulai merasa sakit pada 2-8 Maret dengan gejala umum seperti meriang, demam, dan radang. Hasil cek darah tidak menunjukkan ada gejala yang aneh. Tapi setelah dokter melakukan anamnesis lebih dalam, Riki diminta melakukan rontgen dan ternyata paru-paru kirinya sudah terinfeksi. Tanggal 14 Maret, ia resmi ditetapkan positif COVID-19.

“Padahal kami sudah berusaha memakai masker dan sarung tangan lateks,” ujarnya.

Pekerjaan Riki termasuk salah satu profesi yang juga berisiko tinggi terpapar virus. Bayangkan, sebagai penjaga gerbang negara, setiap hari ia harus berhadapan dengan ratusan orang beserta paspornya di pemeriksaan imigrasi–yang mungkin sudah terkontaminasi droplet.

Saat pertama kali kasus COVID-19 diumumkan, keimigrasian Indonesia sudah berusaha melengkapi anggotanya dengan APD masker dan handscoon. Namun Riki mengamini dalam kondisi sekarang kedua barang tersebut sangat sulit dicari di pasaran.

Kantornya cukup kewalahan mencari stok masker dan sarung tangan karena langka. Jika pun ada, harganya melambung tinggi. Bahkan penuturan dari petugas imigrasi lain mereka menghemat penggunaan handscoon dan masker sebisa mungkin. Beberapa malah terpaksa menggunakannya lebih dari sekali pakai.

Padahal menurut FDA, sebelum dibuang, sebagian besar APD dirancang hanya sekali pakai dan oleh satu orang. Apalagi APD sudah terpapar material berbahaya selama penggunaan, misalnya cairan tubuh dari orang yang terinfeksi. Mencuci atau menggunakan APD lebih dari sekali akan mengubah kapabilitas pelindung dan bisa tidak lagi efektif.

Penggunaan APD oleh masyarakat umum hanya akan membuat persediaan pelindung semakin sedikit bagi tenaga medis dan profesi berisiko lain. Apalagi ketika APD digunakan tidak sesuai standar dan dibuang dengan benar, bukannya terlindungi, malah membikin virus menempel dan jadi media transmisi.

“Banyak profesi betul-betul berisiko, termasuk kami yang ada di perlintasan karena bersinggungan dengan orang keluar dan masuk Indonesia.”

Gerakan Sosial Bikin APD

Pukul tujuh malam sebuah pesan masuk ke telepon pintarnya. Seorang rekan mengabarkan kondisi terakhir sebuah rumah sakit kawasan Cibubur sambil mengirim potret miris para tenaga kesehatan (nakes). Dengan jas hujan tipis seharga sepuluh ribu rupiah mereka berjuang melawan wabah COVID-19. Sebagian lain hanya memakai plastik putih yang menutupi setengah badan.

“Jas hujan ini sekarang juga mulai langka, harganya naik jadi Rp50 ribu,” begitu pesan di seberang kembali menyambung obrolan.

Hatinya sakit melihat potret menyedihkan itu. Otaknya memutar cara untuk membantu mengurai kelangkaan APD, terutama hazmat. Kemudian ia memutuskan membuat hazmat tanpa menerima bayaran.

“Setelah buka Twitter ada yang cari jasa jahit baju hazmat, dan kebetulan saya punya tiga tukang jahit,” kata Reta Riana kepada Tirto.

Reta kemudian membeli bahan parasut untuk membuat contoh hazmat. Hasilnya kembali ia unggah di semua media sosial. Setelah itu banyak pihak menghubunginya, memberikan donasi Rupiah untuk dijahitkan baju hazmat. Reta menargetkan dalam seminggu ke depan ia akan menyelesaikan seribu hazmat untuk disebar di berbagai rumah sakit kisaran Jakarta, Bandung, dan Semarang.

“Saya tidak ambil ongkos jahit, uang donasi semuanya dibelikan bahan.”

Reta tidak seorang diri berjuang, aksi sosial buat membantu tenaga kesehatan mempunyai alat pelindung standar telah meluas. Banyak industri konveksi turut menolong membuat hazmat, tercantum pendesain Anne Avantie. Linimasa Twitter pula marak kampanye#100jutamaskerchallenge untuk para penjahit untuk membikin masker kain.

Masker dari materi katun 2 limpit yang disisipi tisu di tengah dikira dapat menyaring bakteri sampai 70 persen. Paling tidak lumayan dipakai orang sehat buat melakukan kegiatan setiap hari. Kampanye#100jutamaskerchallenge juga dicoba buat menormalisasi harga pasar alhasil masker standar dapat kembali ada untuk kebutuhan medis.

Sampai catatan ini terbuat, aksi- aksi itu lalu menyebar, apalagi sampai kepada pembuatan alat pelindung wajah pengganti goggles. Apapun bentuknya, Kelakuan sosial pelampiasan APD dikala ini bersama dilandasi pemahaman melawan penimbun serta menyiasati kegagapan pemerintah sediakan alat perang untuk serdadu medisnya.

Sumber : https://tirto.id/