Menanti Izin Edar ,Obat COVID-19 Dinilai Terlalu Mahal, Harga Swab Test Bakal Diatur

Menanti Izin Edar

Banyak pihak yang berupaya menaklukkan Coronavirus Disease 2019( Covid- 19). Berbagai penelitian dilakukan untuk mencoba menciptakan penangkal ataupun obat Covid- 19. Sayangnya sampai kemarin( 18 atau 8) belum ada yang dideklarasikan secara khusus obat yang pasti bisa menyembuhkan penyakit dari Wuhan, China, itu.

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) Ali Gufron Mukti. Dia menyatakan belum ada satu pun yang bisa mengklaim adanya satu obat yang mengobati Covid-19. Dia tidak memungkiri bahwa saat ini banyak penelitian yang dilakukan. “Ini termasuk imunomodulator,” ujarnya.

Kemenristek membentuk konsorsium. Tujuannya melakukan penelitian imunomodulator, vaksin, alat kesehatan, obat, dan terapi untuk Covid-19. Berbagai lembaga terlibat dalam konsorsium itu. Mulai kementerian, lembaga, universitas, hingga industri. “Intinya obat yang berguna untuk antivirus, antibiotik, dan yang lain masih proses penelitian,” ujarnya.

Pernyataan Ali juga diamini anggota Komite Nasional Penilaian Obat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Anwar Santoso. Dia menegaskan sampai kemarin belum ada yang menyatakan satu obat itu manjur dan aman untuk Covid-19. Bahkan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun tidak menyatakan satu pernyataan resmi untuk merekomendasikan satu obat tertentu.

BPOM mempunyai tugas untuk menyetujui apakah suatu obat bisa diedarkan dan telah uji klinis. “Uji klinik ada dua variabel yang penting, yakni manfaat secara sains dan manfaat sosial,” ujarnya. Dua hal itu harus terpenuhi semuanya. Harapannya keselamatan dan kesehatan masyarakat jadi terjamin.

Anwar menyatakan, BPOM memang sedang melakukan review beberapa uji klinik. Proses itu tak bisa sembarangan. Sebab, dalam uji klinis harus dibandingkan dengan standar kontrolnya.

Artinya, ada pasien yang diobati sesuai kesepakatan profesi kedokteran dan ada pasien yang diobati dengan bahan uji klinik. Jika tanpa pembanding maka tidak bisa disebut uji klinis yang baik. “Dalam penelitian harus mendapatkan hubungan sebab akibat. Faktor penyembuhan penyakitnya ada banyak,” ujarnya.

BPOM menurut Anwar mengacu pada standar regulator Food and Drug Administration dari Amerika dan European Medicines Agency dari Eropa dalam melakukan pemantauan obat.

Dua lembaga itu reputasinya diakui dunia. Sebelum ada lampu hijau dari dua lembaga itu, dia mengimbau agar periset termasuk universitas tidak mengumumkan hasilnya kepada masyarakat. “Akibatnya bisa jadi ada mis-informasi di masyarakat. Seperti yang saya katakana tadi, uji klinik harus memberikan social value,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Santoso menambahkan sudah ada pedoman untuk mengobati pasien Covid-19 di Tanah Air. Pedoman itu dikeluarkan sejak April lalu. Macam terapi sudah dirincikan mulai yang tanpa gejala hingga yang kritis. “Obatnya ini berdasarkan kondisi masing-masing pasien,” tuturnya.

Dia menyatakan, sejauh ini belum ada terapi spesifik untuk Covid-19. Berdasarkan penelitian yang dilakukan persatuan profesi kedokteran, 99 persen sembuh dengan panduan yang dikeluarkan profesi.

https://hygiene-q.com/izin-edar-alat-kesehatan/

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito menanggapi obat dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya bersama Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI AD yang diklaim ampuh mengobati Covid-19. Dia mengatakan, riset obat Covid-19 telah dilakukan banyak pihak di dunia. “Termasuk di Indonesia.

Sumber : https://kaltim.prokal.co