New Normal dan PSBB Transisi ala DKI Jakarta

NEW Normal dan PSBB DKI JAKARTA

GUBERNUR DKI Jakarta Bapak Anies Baswedan memperpanjang pembatasan sosial berskala besar, hingga akhir Juni ini. Anies tak menerapkan new normal seperti arahan Presiden Jokowi, namun memilih PSBB transisi. Anies mengklaim, kasus Covid-19 di DKI sudah menurun, bahkan di sejumlah wilayah zero kasus. Namun masih ada beberapa wilayah di Jakarta yang masuk kategori zona merah. Untuk itu, PSBB transisi dianggap menjadi pilihan terbaik. Berbeda dengan sebelumnya, ada sejumlah kelonggaran dalam PSBB transisi. Misalnya aktivitas sosial dan ekonomi. Di masa PSBB transisi ini, masyarakat sudah bisa melakukan kegiatan sosial dan ekonomi meski ada sejumlah syarat dan pembatasan yang harus dipenuhi. Pemprov DKI secara bertahap juga akan membuka kembali rumah ibadah, pusat perbelanjaan, tempat hiburan dan pariwisata, hingga perkantoran. Sejumlah syarat sudah disiapkan terkait pelonggaran. Ini dilakukan agar penyebaran virus Corona tetap bisa dikontrol dan dikendalikan. Masyarakat juga diminta menaati dan melaksanakan protokol kesehatan. New normal dan PSBB transisi Presiden Jokowi sebelumnya meminta sejumlah daerah menyiapkan protokol kesehatan menjelang tatanan kehidupan normal baru atau new normal. DKI Jakarta menjadi salah satu daerah yang disiapkan pemerintah pusat untuk menjalani new normal. Namun, alih-alih menerapkan new normal seperti arahan Jokowi, Anies malah memutuskan PSBB transisi. Sejumlah kalangan menilai, PSBB transisi sebenarnya sama dengan kebijakan new normal yang disampaikan Jokowi. Karena, meski melakukan PSBB, Pemprov DKI melonggarkan sejumlah aturan yang ada dalam pembatasan sosial. Anies hanya menggunakan istilah yang berbeda dengan pemerintah pusat. Ada kesan Anies ingin tampil beda dan kebijakannya berseberangan dengan pemerintah pusat. Ini bukan yang pertama.

Sebelumnya DKI Jakarta dan pemerintah pusat juga berbeda sikap soal karantina wilayah atau lockdown. Anies sempat meminta pemerintah pusat menerapkan lockdown guna menekan penyebaran virus Corona. Namun permintaan itu tak dikabulkan. Tak hanya itu, Balai Kota dan Istana juga sempat “bersitegang” terkait data penyebaran virus di Ibu Kota. Pemprov DKI dan pemerintah pusat juga sempat “ribut” terkait kebijakan larangan perjalanan bus antar kota antar provinsi (AKAP). Pemprov DKI melarang perjalanan bus AKAP pada 29 Maret. Namun, selang sehari kebijakan ini dibatalkan Plt Menteri Perhubungan Luhut Binsar Panjaitan. Tak sejalan Sejak awal, Anies Baswedan dan pemerintah pusat kerap berbeda sikap terkait penanganan virus Corona. Anies kerap mengkritisi cara pemerintah pusat dalam menangani pandemi. Mulai dari pengetesan virus Corona hingga inkonsistensi pemerintahan Jokowi dalam menangani pandemi. Anies juga sempat “ribut” dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang dinilai lamban, khususnya terkait izin PSBB yang ia ajukan. Namun, Anies tak sendiri. Ada sejumlah kepala daerah yang mengambil kebijakan sendiri dalam menangani pandemi. Tegal misalnya. Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono membuat kebijakan local lockdown dengan menutup Kota Tegal.

Selain Tegal, sejumlah wilayah juga melakukan langkah serupa. Saat pemerintah pusat masih gamang menentukan sikap dan tak kunjung mengambil keputusan, mereka mengambil langkah sendiri. Sejumlah wilayah itu di antaranya Solo, Bali, Papua, Maluku dan Tasikmalaya. Daerah-daerah itu menerapkan lockdown dengan skala berbeda. Masyarakat bingung Di masa pandemi ini pemerintah pusat dan daerah harus solid dan intens menjalin komunikasi dan koordinasi. Pemerintah pusat harus mendengar masukan pemerintah daerah. Sebaliknya pemerintah daerah juga tak boleh mengambil inisiatif dan membuat kebijakan sendiri. Kebijakan pemerintah daerah dan pusat yang kerap berbeda dalam menangani wabah virus Corona berpotensi merugikan publik. Pasalnya, masyarakat akan bingung dan kesulitan mematuhi kebijakan tersebut. Kondisi ini bisa membuat penyebaran virus Corona ini makin susah ditangani. Anies Baswedan dan juga kepala daerah yang lainnya seyogianya mengikuti langgam pemerintah pusat. Dengan begitu, penanganan pandemi ini akan lebih efektif sehingga terhindar dari polemik.

Sumber : https://www.kompas.com/